Semua pasti tahu bukan kalau aku
menyebut kata café? Ya bagi sebagian orang café itu adalah tempat nongkrong
bersantai sambil dengerin music atau baca-baca buku ringan misalnya atau kumpul
bersama teman atau sanak saudara utuk menikmati kudapan yang disediakan. Tapi
di tempat aku tinggal kalau kita menyebut kata café akan diartikan sebagai
sesuatu yang lebih spesifik dari sekedar tempat nongkrong. Menyebut kata café
itu sudah pasti akan menjadi sesuatu yang negatif karena café disini identik
dengan tempat yang bernuansa remang-remang hanya buka saat malam sampai subuh
menyediakan bir atau minuman beralkohol sejenis dan yang pasti ada waitrees cantik
yang siap menemai tamu melewati malam sambil minum-minum dan bahkan maaf ada
yang bisa di pesan untuk diajak “keluar”.
Kembali lagi kecerita pengalamanku
mengenal waitrees café, semua bermula dari sebuah ketidaksengajaanku datang
kesebuah café bersama seorang teman untuk menjemput seorang teman yang sudah
lebih dulu kesana. Dalam proses menunggu seorang waitrees menghamipiriku,
sambil menawarkan adakah yang ingin ku
pesan… sambil berseloroh ku jawab ‘boleh
pesan mbaknya ?’ terlihat wajah gadis itu tiba-tiba memerah dan menunjukkan
tanda geram. Kemudian mulailah dia membuka cerita, bahwa jangan mengira semua
waitrees itu bisa di ajak melakukan sesuatu diluar pekerjaannya. Mereka itu
sama seperti kita bekerja untuk hidup, dan berusaha dengan cara yang halal. Jika
mereka kemudian mendapatkan tips dari minuman yang dia jual itu sudah menjadi
kewajaran, sebuah ucapan terimakasih dari tamu yagn sudah ditemani. Jadi jangan
mengira bahwa semua wanita yang bekerja di dunia malam itu adalah wanita
gampangan. Aku tahu dia thulus dengan apa yang dia katakan, bisa dilihat dari
sorot matanya (wkwkwkw sorotnya
mengalahkan lampu 100watt) sebenarnya jauh dilubuk hatinya yang paling
dalam (sedalam apa aku ngga tahu) dia
merasakan sesuatu yang sakit dan menusuk saat banyak orang memandangnya dengan
nyinyir bahkan bergunjing menganggap semua waitrees itu adalah wanita
gampangan, perusak rumah tangga dan pemorot suami orang. Padahal tidak seperti
itu kenyataannya dia dan sebagian besar teman-temannya adalah pekerja biasa
seperti kita, bukan perek dan pemorot. Jikalau ada waitrees café yang pada
akhirnya jatuh cinta pada tamunya itu bukan murni salah dia. Mereka juga wanita
biasa yagn tergiur dengan janji manis, yang tergiur dengan kemapanan. Yang
namanya janji tentu harus ditepati, entah itu janji akan memberikan kemapanan,
ketika menagih janji itulah mereka terkesan memoroti. Tapi ingatlah kembali
juga tidak semua wanita mudah tergiur janji, tapi alangkah baiknya juga untuk
jangan memberi janji kepada sesorang siapapun itu jika kita tak ingin, tak
mampu atau bahkan tak pantas menepati. Jadi jika begini siapa yang patut untuk
dipersalahkan?
Kita memang tidak usah berfikir
keras untuk mencari siapa yang salah… tapi setidaknya kembalilah untuk belajar
melihat diri kita sebelum melihat orang lain, menilai diri terlebih dahulu
sebelum menilai orang lain. Tidak semua yang dianggap salah itu salah
seutuhnya, begitu juga tak semua yagn dianggap benar itu benar pula seutuhnya.
Tidak ada manusia yang sempurna, dan dibalik ketidaksempurnaan itu marilah kita
melihat yang positif dulu sebelum menelusuk lebih dalam menghilangkan garis
horizontal pada tanda positif menjadi hanya garis vertikal yang bermakna
negatif. Belajar untuk memaknai bahwa sesuatu boleh terlihat sama tapi belumlah
tentu sama.